Kasus kematian yang menimpa seorang guru PNS atas nama Mamay Maida (30) bersama bayinya saat proses melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sumedang berujung damai. Suami korban, Ardiansyah Apandi (30), menyebutkan, untuk damai atau islah ini karena berbagai banyak pertimbangan, terutama pihak dokter yang menangani persalinan sudah meminta maaf.
“Untuk membuat islah dengan pihak rumah sakit karena berbagai banyak pertimbangannya. Pertama pihak dokter sudah mengakui kesalahan dan kelalaian apa yang telah terjadi menimpa kepada keluarga kami,” terang Ardiansyah saat dikonfirmasi Tahu Ekspres melalui sambungan seluler, Kamis (5/10).
“Itu yang diharapkan sama saya mah, intinya meminta maaf apa yang saya lakukan somasi 2 x 24 Jam, mereka datang dari pihak terkait, plt. Direktur Rumah Sakit, dr. Dani berikut Humas dan Keamanan,” kata Ardiansyah.
Proses islah/damai dilakukan dikantor Desa Buanamekar Kecamatan Cibugeul, Hari Rabu (4/10) Jam 21.00 WIB, dengan dihadiri oleh Kepala Desa, Pupuhu/Kokolot/Tokoh Desa, pihak keluarga dan pihak rumah sakit yang diwakili oleh Plt. Direktur RSUD Sumedang, dr. Dani Setiawan, bagian Humas dan bagian Keamanan.
“Awalnya kita sehat, pulang tinggal nama. Tapi di sana saya kan coba istikhoroh, diskusi sama guru Ngaji yang di Cikalama. Ya mungkin lah, mereka menyarankan sudah lah, ini mungkin takdir dari Alloh, jalan yang harus dijalani, fokus sekarang kepada anak, biar Allah yang membalasnya nanti,” katanya.
Ia mengaku, kalau ganjalannya saat ini masih besar karena kehilangan sang istri tercinta. Kalau tidak melihat dari sisi psikologi dirinya dan keluarganya, juga orang tua istrinya, Ardiansyah pasti akan melanjutkan kasus ini ke ranah hukum karena menyangkut nyawa seseorang yang telah direnguk diduga akibat kelalaian dari pihak rumah sakit.
Ia juga mempertimbangkan, jika kasus ini dilanjutkan, dikhawatirkan jenazah istrinya akan dilakukan autopsi.
“Yang penting kita memaafkan dulu, karena kasihan kepada istri, sekarang bilamana nanti lanjut, pasti nanti harus di autopsi. Jadi yang ditakutkan itu, sudah tenang-tenang, nanti pas diangkat jasad sudah hancur. Saya gak bakalan kuat, kalau melihat itu saya gak bakalan kuat, bisa jadi gila,” ucap Ardiansyah dengan nada sedih.
Bahkan, dengan keadaan seperti ini saja, dirinya sudah tidak kuat menahan kesedihannya serta pikirannya sudah kesana kemari. Bahkan untuk sembuh dari rasa sakit kehilangan istrinya butuh waktu proses yang sangat lama.
“Di sisi lain saya harus memikirkan anak saya ke depannya gimana, biaya hidupnya, sekolahnya. Karena saya cuma punya satu-satunya nanti anak saya, yang ditinggal istri. Saya bisa islah (damai) itu karena istri saya datang dalam mimpi setelah istikharah itu. Cuma bilang, A atos, teteh mah sudah tenang disini, sok aja aa urus de zia, terus maafin semuanya yang punya kesalahan mah. Nah dari situ saya terhentaknya mah,” tutur pria yang juga seorang guru (honorer) ini.
Awalnya, ia ingin menempuh jalur hukum, karena kesakitan hati yang dirasakannya. Tapi menurutnya, itu mungkin hanya emosi sesaat, rasa emosi yang menutup diri untuk tidak menjadi pemaaf.
“Saya tidak mau suatu saat nanti di justifikasi sebagai seorang lelaki yang keras kepala, pemarah dan egois. Saya juga udah ngobrol sama guru ngaji yang dari Cikalama, kuburan jangan sampai dibongkar lagi, jangan sampai di autopsi, biar Alloh saja yang mengatur nya,” katanya.
Untuk tuntutan hukum, menurut Ardiansyah, tidak jadi karena dikhawatirkan akan terjadi autopsi, ia merasa kasihan kepada istrinya yang sudah tenang di alam kubur.
Dengan kejadian seperti ini, ia berharap semoga kedepannya RSUD Sumedang menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat terpadu terbaik. Jangan sampai ada kasus Mamay berikutnya, biarkan saja hanya dirinya yang merasakan sakit kehilangan.
“Saya berharap jangan dibeda-bedakan nanti pasien BPJS dengan yang umum. Intinya berharap semoga rumah sakit menjadi lebih baik lagi,” terangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar